Nusantaratv.com - Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menyatakan UU TPKS menjangkau penanganan kasus kekerasan seksual secara menyeluruh yang sebelumnya tersebar dalam berbagai peraturan.
Misalnya seperti Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU TPPO, bahkan hingga UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
"Semua pengaturan terkait kasus tindak pidana kekerasan seksual yang tersebar dalam sejumlah UU tersebut juga diatur dalam UU TPKS. Namun sayang belum bisa diimplementasikan secara efektif karena belum ada aturan teknis atau pelaksananya," ujar Didik dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/7/2023).
Namun sayangnya, belum adanya pemahaman menyeluruh dan utuh terkait substansi UU TPKS juga dianggap membawa konsekuensi dalam penerapan aspek perlindungan yang diamanatkan UU TPKS. Menurut Didik, salah satunya terkait persoalan kekerasan seksual dalam rumah tangga, apapun bentuknya itu.
"Pemahaman tersebut juga harus sampai pada tataran kesepahaman antara aparat penegak hukum, kerja sama kelompok kerja perempuan anak terpadu, dan dengan aparat penegak hukum yang berperspektif HAM dan gender. UU TPKS penting sekali diterapkan karena bisa kena semua mulai dari pencegahan, penindakan, sanksi dan perlindungan," terangnya.
Selain penegakan hukum, UU TPKS juga mengatur hak perlindungan hingga pemulihan korban yang meliputi hak atas penanganan terhadap kasusnya. Didik berharap, pihak kepolisian memiliki peran dalam mempercepat proses penyelidikan dan penyidikan pada setiap kasus kekerasan seksual.
"Korban memiliki hak atas penanganan misalnya mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban," urainya.
Selain itu, korban kekerasan seksual di UU TPKS juga mendapat hak perlindungan meliputi kerahasiaan identitas serta perlindungan dari tindakan merendahkan yang dilakukan oleh aparat yang menangani kasus. Kemudian perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.
"Sementara hak pemulihan meliputi, rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, hingga reintegrasi sosial. Pemulihan itu didapat korban mulai proses hingga setelah proses peradilan," sebut Politisi Fraksi Partai Demokrat itu.
Oleh karenanya, DPR mengajak semua pihak untuk berkontribusi membantu pencegahan tindak kekerasan seksual serta mengawal kasus-kasusnya. Dengan begitu, menurut Didik, setidaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisir.
"Pengawasan dan partisipasi dari masyarakat harus diperkuat. Melihat korban kasus kekerasan seksual terus berjatuhan, selain penindakan, Pemerintah juga harus ekstra efforts untuk melakukan pencegahan," ungkap Legislator Dapil Jawa Timur IX itu.