Nusantaratv.com - Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia pada Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI menyelenggarakan Seminar Nasional (Semnas) bertema "Politik Hukum dalam Undang-Undang Mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan".
Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Lidya Suryani Widayati, menerangkan, sudah ada perubahan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang undangan (P3) yang sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, akan tetapi dapat disimpulkan bahwa masih ada beberapa yang perlu dilakukan penyempurnaan terutama terkait dengan masalah ketentuan pidananya.
"Tentunya ini harus disesuaikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP dimana penerapan ketentuan sanksi pidananya di KUHP itu bisa diimplementasikan dalam pembentukan Undang-Undang lainnya sehingga di dalam Undang-Undang P3 itu perlu ada aturan yang lebih jelas lagi terkait dengan implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023," terang Lidya Suryani Widayati usai penyelenggaraan Semnas di Jakarta, Jumat (6/10/2023).
Pada seminar nasional tersebut kepala pusat Perancangan Undang-Undang juga melakukan launching Corruption Risk Analysis (crisys) sebagai salah satu metode selain adanya Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) di dalam Undang-Undang P3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 yang merupakan perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011.
"Perlu kolaborasi, soal crisys sebagai metode untuk mencoba mencegah terjadinya 'political corruption', karena tanggung jawab terhadap pencegahan terjadinya 'political corruption' tidak hanya di sistem pendukung yang ada di DPR tetapi ada di sistem pendukung kementerian lembaga dan perguruan tinggi juga ikut berperan untuk mewujudkan suatu perundang-undangan yang lebih baik antara lain undang-undang yang bebas dari political corruption," tegas Lidya Suryani Widayati.
Kapus (PUU) Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI ini juga menjelaskan lebih lanjut bahwa kolaborasi crisys dibutuhkan karena tanggung jawab tidak hanya di DPR tetapi karena peran pembentukan peraturan perundang-undangan juga ada di pemerintah, DPD, DPRD dan ada di pemerintah daerah.
"Komitmen bersama diperlukan untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik antara lain peraturan perundang-undangan yang bebas dari political corruption melalui crisys yang berbasis pada corruption risk analisis," jelas Kapus PUU DPR RI ini.
Lidya Suryani Widayati, juga menambahkan crisys sudah diterapkan oleh beberapa negara yaitu negara rusia Albania, Italia Portugal dan Korea Selatan, sementara di Indonesia PPATK dan KPK menggunakan 'corruption risk assessment'.
"Yang membedakan 'corruption risk assessment' itu digunakan untuk peraturan yang sudah ada sementara crisys digunakan untuk memitigasi risiko atau menganalisis norma-norma dalam tahap penyusunan terutama penyusunan RUU sehingga semua dicegah semenjak dari awal tahap penyusunan," pungkas Lidya Suryani Widayati.
Turut hadir pada acara pelaksanaan seminar nasional, Supratman Andi Agtas (Ketua Badan Legislasi DPR RI) Inosentius Samsul (Kepala Badan Keahlian DPR RI), Suprihartini (Deputi Bidang Persidangan Setjen DPR RI), Suseno dari (Widyaiswara Ahli Utama LAN RI), Idham (Wakil Rektor 1 Universitas Batam), Marcus Priyo Gunarto (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada), Mahrus Ali (Dosen Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia), I Nyoman Suandika (Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta serta tenaga ahli AKD DPR RI.