Nusantaratv.com - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menilai Indonesia perlu meningkatkan keran investasi Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Sehingga, DHE SDA yang berada di reksus dihitung sebagai acuan untuk menilai Giro Wajib Minimum (GWM), dan rasio intermediasi prudential dari bank penerima.
"Pengaturan terkait DHE SDA tidak cukup sekadar dicatatkan, dan penggunaannya diawasi untuk kebutuhan transaksi perdagangan internasional. Apalagi oleh Bank Indonesia hal itu tidak dikategorikan sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menjadi acuan penghitung kewajiban bank dalam memenuhi Giro Wajib Minimum (GWM), dan lainnya," urai Said dalam keterangan tertulis yang diterima tim Parlementaria, Kamis (16/2/2023)
Ia menilai, jika pengaturannya hanya seperti ini, maka ekonomi dalam negeri tidak mendapatkan manfaat optimal atas penempatan DHE di perbankan nasional, selain penerimaan perpajakan atas bunga DHE di reksus. Selain itu menurutnya, Jika pemerintah bisa memberikan penawaran yang menarik, khususnya peluang peluang investasi baru yang menjanjikan, dan imbal hasil menarik, seharusnya pemilik DHE SDA tertarik untuk terlibat dalam penawaran tersebut.
Oleh sebab itu, ia mengimbau pemerintah sebaiknya membuka menu investasi yang menarik buat mereka, seperti halnya pemerintah membuat penawaran pada skema repatriasi modal saat tax amnesty beberapa waktu lalu.
"Ke depan pemerintah juga perlu mengatur lebih lanjut terhadap devisa hasil ekspor non sumber daya alam, seperti halnya pemerintah mengatur DHE SDA. Memang benar hasil DHE Non SDA tidak sebesar SDA. Kedepan bisa jadi hasil DHE Non SDA ini bisa melampaui DHE dari SDA, mengingat tidak semua hasil sumber daya alam bisa diperbaharui," jelasnya.
Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari sampai Desember 2022 mencapai USD291,98 miliar atau naik 26,07% dibanding tahun 2021. Neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2022 mencatatkan surplus tertinggi dalam sejarah yakni sebesar USD54,46 miliar, dan di Januari 2023 masih surplus USD3,87 miliar. Harusnya surplus perdagangan internasional ini menyumbang devisa yang dicatatkan oleh Bank Indonesia.
"Dengan menggunakan basis komparasi di atas tampak perbedaan jumlah surplus perdagangan dengan posisi cadev (cadangan devisa). Posisi cadev tampak lebih rendah dengan yang didapat dari neraca perdagangan. Padahal kalau kita tambahkan besaran penarikan pembiayaan baik dari SBN maupun pinjaman luar negeri, harusnya posisi cadev lebih lebih besar dari nilai surplus neraca perdagangan," ungkap Said.
Ia pun menerangkan, situasi ini menggambarkan surplus neraca perdagangan tidak menjelma menjadi kue ekonomi yang nyata didalam negeri. Padahal, sejak 10 Januari 2019 pemerintah telah memberlakukan Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor Dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, Dan/Atau Pengolahan Sumber Daya Alam. Dipihak Bank Indonesia (BI) telah menyempurnakan Peraturan BI sebelumnya tentang DHE melalui PBI No 24/18/PBI/2022 tentang DHE dan Devisa Pembayaran Impor.
Selain itu, belied tersebut secara jelas mewajibkan pelaku ekspor Sumber Daya Alam (SDA) yang menerima DHE untuk menempatkan dananya ke Rekening Khusus (Reksus) paling lambat akhir bulan ketiga setelah bulan pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor. Hal itu termasuk mewajibkan eksportir untuk memindahkan escrow account jika terlanjur membuatnya diluar negeri dengan diberikan tenggat waktu paling lama 90 hari sejak 10 Januari 2019.
"Pembayaran yang diterima oleh eksportir dalam bentuk DHE seharusnya dicatatkan sebagai pendapatan usaha oleh perusahaan eksportir. Meskipun tidak semua, setidaknya ada peluang besar bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk mendorong DHE SDA menjadi alternatif sumber investasi dalam negeri, terutama terhadap sektor sektor prioritas yang menjadi perhatian pemerintah," jelas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Sehingga tak hanya TKI, menurutnya dunia digital dan sektor kreatif akan menjadi prospek masa depan devisa Indonesia. Meskipun bukan yang terdepan, sektor jasa teknologi informasi dalam bentuk web design, animasi, desain grafis, dari tangan tangan kreatif Indonesia tidak kalah diminati oleh berbagai perusahaan internasional.
"Kekayaan kreatif kita juga belum optimal digarap untuk menghasilkan devisa. Tumpuan kita selama ini masih pada sektor pariwisata. Padahal kekayaan seni dan arsitektural serta hak kekayaan intelektual kita sangat menjanjikan untuk menghasilkan devisa," tutup Said.