Nusantaratv.com - Anggota Komisi XI DPR RI Willy Aditya meminta pemerintah untuk melakukan kajian mendalam mengenai usulan skema dana pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini diungkapkannya terkait dengan rencana pemerintah mengubah skema dana pensiun dari sistem pay as you go menjadi fully funded bagi pensiunan PNS.
“Rencana perubahan skema dana pensiun PNS perlu dikaji lebih matang dan empirik. Dengan sistem gaji PNS saat ini yang juga memberi remunerasi terhadap prestasi kerja maka sewajarnya sistem pensiun ke depan juga memperlihatkan konsentrasi pemerintah untuk mendorong prestasi kerja PNS agar benefit yang mereka terima juga sesuai dengan kontribusi kerjanya bagi negara,” ujar Willy dalam keterangan resminya, Rabu (31/8/2022).
Saat ini, skema pensiun PNS menggunakan dasar hukum Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 yang mengatur program jaminan pensiun (JP) dan jaminan hari tua (JHT) untuk PNS. Dalam skema pay as you go, PT Taspen menghimpun iuran peserta 4,75 persen dari penghasilan pegawai (gaji pokok ditambah tunjangan istri dan anak) setiap bulan, dan ditambah dengan APBN.
Menurut Willy, skema pay as you go (PAYG) yang sudah dipakai sejak tahun 50-60an lebih kental diarahkan dalam nuansa politik dengan dalih jaminan sosial. “Hasilnya kita lihat sendiri bagaimana pengelolaan dana pensiun ini terus menjadi ‘beban’ pembiayaan negara,” tambah legislator dapil Jawa Timur XI tersebut.
Willy menambahkan, kajian pengubahan skema dana pensiun juga perlu mempertimbangkan analisis faktor ekonomi yang berkembang. Politisi Partai NasDem tersebut mencontohkan, antara lain: market, investasi, inflasi, sustainabilitas dan lain-lain. “Tujuannya adalah agar pengelola dana pensiun dapat lebih produktif dan optimal memberi layanan. Bukan sekadar mengumpulkan dana dari PNS lalu cari aman dalam pengelolaan dan manajemennya berharap gaji besar,” tegasnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu mengatakan, sistem skema dana pensiun yang digunakan saat ini di Indonesia sebenarnya sudah dijadikan rujukan negara lain. Negara-negara tersebut menggunakan model yang berangkat dari besaran dan pola kontribusi seperti di Indonesia. “Namun ada juga yang modelnya dikembangkan dari tujuan akhir benefit yang akan diterima oleh peserta. Hal demikian ini perlu menjadi pertimbangan dalam kajian yang dilakukan Kemenkeu,” tambah Willy.