Nusantaratv.com - Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Sukamta menjelaskan pentingnya peran parlemen dalam kancah global. Terutama dalam menjembatani beberapa isu dengan negara-negara lain yang tidak bisa ditempuh melalui jalur resmi protokol diplomasi pemerintah.
"Untuk isu-isu tertentu, itu lebih mudah dilakukan, secara lebih lentur, secara lebih kadang-kadang informal, dan itu lebih mengena, dibandingkan misalnya dengan cara-cara diplomasi yang standarnya itu memang cenderung formal dan lebih kaku, dan keuntungan parlemen disitu, termasuk di Pasifik, karena sering kali ketika eksekutif yang masuk, mereka ketemu menlu sama menlu, mereka akan mengatakan, 'Oh ya nanti kami akan bawa ke parlemen', sementara kalau kita langsung ke parlemen, itu cenderung menjadi lebih mudah, lebih luwes kalau ketemu antar anggota parlemen," katanya kepada Parlementaria di Yogyakarta, Selasa (30/1/2024).
Sukamta melanjutkan, banyak negara yang menjadi mitra Indonesia yang negaranya memiliki sistem parlementer, contohnya seperti Uni Eropa dan juga Pasifik. Karena negara-negara tersebut memiliki sistem parlementer yang sama dengan Indonesia, dan juga memiliki perkumpulan dengan negara-negara tersebut maka jalur parlemen lebih mudah ditembus.
"Kalau kita langsung ke parlemen itu cenderung menjadi lebih mudah, lebih luwes kalau ketemu antar anggota parlemen itu kita bisa rileks, bisa ngopi bareng, bisa duduk lebih santai makan bareng minum bareng gitu ya, itu membuat mereka bisa keluar dari perisainya untuk menyampaikan hal-hal yang sifatnya fundamental esensial, persoalan terlepas dari kekakuan diplomasi, sehingga itu punya peluang yang lebih efektif sebetulnya, kita saling melengkapi antara ekesekutif dengan legislatif ini," tuturnya.
Sukamta pun memaparkan, bahwa kondisi dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dunia saat ini mengalami apa yang dikenal sebagai badai sempurna atau Perfect Storms. Bangsa kita dan seluruh bangsa di dunia sedang menghadapi persoalan yang semakin kompleks, tidak pernah terjadi sebelumnya, saling berhubungan dan juga bersifat lintas batas.
"Persoalan tersebut antara lain ketidakpastian ekonomi global, agresi militer, perang, perubahan iklim dan ancaman krisis lingkungan, kejahatan siber, migrasi global, hingga terus meningkatnya intoleransi serta Islamofobia/Xenofobia dan sejenisnya," katanya.
Dan yang paling menonjol dan terbaru tentunya adalah genosida dan pembunuhan massal terhadap warga Palestina oleh Israel. Kita masih menyaksikan bagaimana penjajahan terhadap suatu bangsa yaitu Palestina masih terjadi di abad ke-21 ini.
Pada saat yang sama, tata kelola global termasuk lembaga-lembaga internasional seperti PBB mengalami penurunan legitimasi. tingkat kepercayaan terhadap global governance menurun akibat: Pertama, menurunnya kapabilitas dan efektivitas institusi global dalam menyelesaikan persoalan.
"Kita lihat bahwa sampai hari ini, PBB termasuk Dewan Keamanan PBB tidak mampu menghentikan perang dan menciptakan perdamaian baik di Gaza maupun di Ukraina. Mereka bahkan tidak mampu memberikan bantuan maksimal kepada korban-korban serangan militer di Gaza," tandasnya.
Kedua, adanya sikap dan pandangan double standard dan kemunafikan (hypocrisy) dari negara-negara Barat terhadap negara lain. Dirinya menyaksikan bagaimana negara-negara Barat selalu menggaungkan demokrasi dan penghormatan terhadap HAM, namun pada saat yang sama mereka juga menjadi pelaku dan pendukung pelanggaran HAM di berbagai tempat termasuk di Gaza, Afghanistan, Irak, dan berbagai wilayah lainnya.
"Bahkan mereka selalu membolak-balikan fakta, menganggap kelompok Hamas sebagai teroris padahal menyebut Ukraina sebagai pejuang kemerdekaan dan kebebasan. Sikap seperti ini tidak hanya dilakukan oleh negara-negara Barat tapi juga terlihat dari sikap institusi global secara umum seperti di PBB, Uni Eropa, NATO dll," ungkapnya.
Ketiga, dirinya juga menyaksikan adanya Western domination dalam tatanan global kita. Keputusan-keputusan PBB misalnya seringkali hanya merupakan cerminan dari negara-negara Barat dan super power termasuk melalui hak veto-nya.
"Pada saat yang sama, suara-suara negara berkembang, negara-negara Selatan belum terakomodir secara representatif. Banyak agenda global yang sebenarnya merupakan agenda dan kepentingan Barat bukan kepentingan negara-negara berkembang, negara-negara Asia, Afrika, atau Amerika Selatan," tutupnya.