Nusantaratv.com - Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menilai pengembangan EBET (energi baru dan energi terbarukan), terutama solar dan mikrohidro sangat membutuhkan dukungan infrastruktur, berupa jaringan transmisi dan distribusi yang memadai, apalagi daerah-daerah terpencil di pulau-pulau seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
"Ini yang harusnya jadi perhatian Presiden. Apalagi, positifnya juga, EBT solar dan mikrohidro ini kan investasinya relatif kecil dibanding PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara. Sehingga dengan sedikit bantuan dari Pemerintah, maka badan usaha kecil seperti BUMD, BUMDES atau koperasi bisa ikut menyelenggarakan dan membangun EBT ini. Sedangkan selama ini PLTU batu bara yang punya harus pengusaha besar (oligarki)," ungkap Rofik dalam keterangan persnya, Rabu (16/11/2022).
Ditambahkan Politisi Fraksi PKS ini, bahwa potensi EBT Indonesia sangatlah besar, yakni sekitar 3.000 GW. Potensi sebesar itu tentu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mempercepat transisi energi.
Rofik menjelaskan bahwa pada tahun 2060 saat tercapai net zero emission, kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 700 GW yang berasal dari solar, hidro, bioenergi, laut, panas bumi, termasuk hidrogen dan nuklir.
Hal itu tentu harus didorong dengan pengembangan skema bisnis baru, inovasi teknologi yang kompetitif dan terjangkau. Namun, menurutnya, kondisi sekarang malah bak jauh panggang dari api, alias jauh dari harapan.
Hal itu terlihat sampai akhir tahun 2021, bauran energi dari EBT hanya mencapai 11,7 persen, padahal targetnya mencapai 23 persen pada tahun 2025 nanti. "Secara spesifik, target kita sangat ambisius. Misalnya akan ada tambahan 3,6 Gigawatt (GW) PLTS Atap, pembangunan 10,6 GW pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT, termasuk penggantian PLTD menjadi PLT EBT, dan pemanfaatan biofuel hingga 11,6 juta kiloliter," paparnya.
Selain itu, adanya mimpi bahwa pembangkit listrik setelah tahun 2030 hanya dari PLT EBT. Kemudian mulai 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh Variable Renewable Energy (VRE) dalam bentuk tenaga surya, diikuti tenaga angin dan arus laut pada tahun berikutnya.
Hidrogen juga akan dimanfaatkan secara gradual mulai 2031 dan secara masif pada 2051. Kemudian tenaga nuklir akan masuk dalam sistem pembangkitan mulai tahun 2049. Berdasarkan hal tersebut, pihaknya melalui Komisi VII DPR RI mengusulkan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) agar bisa menjadi pijakan utama dalam pengembangan EBT di Indonesia.
Rofik mewakili Fraksi PKS juga dengan tegas meminta agar pemerintah segera menindaklanjuti RUU EBET agar bisa segera disahkan dan menjadi payung hukum yang kuat dalam pengembangan EBET di Indonesia.
"Akan tetapi, saya melihat pemerintah seolah-olah ingin menghambat pembahasan RUU tersebut, di mana seharusnya sudah mulai pembicaraan tingkat satu, namun molor karena di internal mereka masih belum satu suara terkait RUU tersebut," pungkasnya.