Nusantaratv,com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu agenda prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dinilai memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas gizi generasi mendatang.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Dewan Pakar Bidang Gizi Badan Gizi Nasional (BGN), Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S,.
Menurut Prof. Hardinsyah, menu MBG yang disajikan di berbagai daerah umumnya telah memenuhi standar makanan bergizi seimbang.
Dia menjelaskan, dalam memahami gizi terdapat beberapa tingkatan yang perlu diperhatikan, dimulai dari jenis makanan, apakah sudah mencakup empat kelompok utama.
"Pertama, makanan pokok sebagai sumber karbohidrat yang mengenyangkan. Bisa berupa nasi, atau bagi saudara kita di Maluku bisa sagu, ubi-ubian, atau jagung. Umumnya masyarakat Indonesia memang mengonsumsi nasi, tetapi tidak sedikit yang menggunakan sumber karbohidrat lain," ujar Prof. Hardinsyah saat menjadi narasumber dalam program "Super Don" yang dipandu jurnalis senior Nusantara TV, Don Bosco Selamun dan Donny de Keizer, Kamis, 11 Desember 2025.
"Kedua adalah lauk pauk, sumber zat pembangun yang penting untuk kesehatan otot dan tubuh. Di Indonesia umumnya berupa tahu, tempe, telur, ikan, daging, atau susu, yang bisa dikombinasikan atau dipilih salah satu," lanjutnya.
Ketiga adalah buah. Menurutnya, buah yang paling populer dan tidak mengenal musim di Indonesia adalah pisang dan pepaya. "Jeruk juga tersedia karena panennya berbeda-beda di setiap daerah sehingga ketersediaannya stabil," tambahnya.
"Keempat adalah sayur. Sayuran yang umum dikonsumsi antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, dan brokoli," tambah Prof. Hardinsyah.
Berbicara mengenai kualitas makanan, Prof. Hardinsyah menekankan aspek keamanan pangan. "Makanan harus aman dikonsumsi, tidak menyebabkan anak mual, muntah, atau pusing," ungkapnya.
Dia menambahkan, makanan juga harus bergizi. "Mutu gizi itu cukup kompleks. Makanan bisa bergizi tetapi tidak aman, itu berbahaya. Begitu pula makanan yang membuat muntah, tentu tidak layak dikonsumsi," tegasnya.
Terkait kebutuhan tenaga ahli gizi untuk program MBG, Prof. Hardinsyah menjelaskan, pendidikan tinggi gizi di Indonesia tersedia melalui berbagai program studi. Saat ini terdapat 230 program studi gizi dari wilayah barat hingga timur Indonesia.
"Sekitar 70 persen berada di Pulau Jawa. Uniknya, sekitar 75 persen mahasiswa dan lulusannya adalah perempuan. Ini berkaitan dengan isu kekurangan tenaga gizi yang sempat muncul. Padahal setiap tahun kita meluluskan sekitar 11.000 lulusan, mulai dari diploma 3, sarjana terapan, sarjana gizi berbasis akademik maupun diploma 4, hingga profesi Dietisien dan Nutrisionis, serta S2 dan S3," jelasnya.
Dengan jumlah lulusan tersebut, menurut Prof. Hardinsyah, target pemerintah mencapai 32.000 SPPG sebenarnya realistis, terlebih program sudah dimulai sejak tahun lalu.
"Namun hingga kini jumlahnya belum mencapai 24.000. Bahkan masih ada lulusan tahun 2023-2024 yang belum bekerja. Permasalahan yang muncul lebih pada penyebaran tenaga dan karakteristik lulusan yang sebagian besar perempuan. Saya tidak menyalahkan perempuan, tetapi ketika lulusan perempuan dari Jawa ditugaskan ke Kalimantan atau Papua, biasanya mereka harus meminta izin orang tua atau sudah memiliki tunangan, sehingga penempatannya tidak mudah. Kecuali seperti dulu ketika ada dokter impres yang wajib ditempatkan," imbuhnya.
Baca Juga: Call Center SAGI 127 Perkuat Pelaksanaan Program MBG, Prof Ikeu: Peran Masyarakat Sangat Penting
Untuk penempatannya, setidaknya ada 1.450 ahli gizi baru yang terserap. Prof. Hardinsyah mengatakan, jumlah dapur yang beroperasi saat ini sudah mencapai 11.000, dengan ketentuan satu SPPG ditempatkan satu tenaga gizi.
"Karena kondisi tadi, persyaratannya dilonggarkan. Boleh lulusan sarjana kesehatan masyarakat yang memiliki peminatan gizi, atau lulusan teknologi pangan dengan peminatan gizi, untuk sementara menggantikan peran ahli gizi," imbuhnya.
Dari total pekerja yang terlibat, diperkirakan ada sekitar 1,5 juta lapangan kerja yang tercipta. "Kalau kita ambil contoh 35.000 dapur dulu, di setiap dapur ada sekitar 50 orang yang bekerja. Totalnya mencapai lebih dari 1,5 juta," jelasnya.
Belum semua SPPG memiliki ahli gizi. Posisi tersebut sementara digantikan oleh tenaga non-ahli gizi yang menjalankan tugas terkait keahlian gizi. Apakah ini berisiko? "Ya, makanya disyaratkan ada pelatihan. Ahli gizi saja tetap harus dilatih lagi," ujarnya.
Terkait preferensi makanan anak, dia mengatakan belum ada survei resmi.
"Tapi bulan lalu saya ke Jawa Tengah dan Riau, mengunjungi berbagai MBG di kabupaten dan kota. Indikator sederhana yang saya lihat adalah jumlah makanan yang tidak dimakan. Kalau ada sisa, penyebabnya dua, porsinya terlalu banyak atau rasanya tidak enak. Porsi berlebih kecil kemungkinannya karena yayasan tentu tidak ingin rugi. Jadi kemungkinan besar karena rasa. Tapi dari yang saya lihat, anak-anak menerima makanannya dengan baik dan bahkan bercerita kepada orang tuanya. Saat pertemuan dengan orang tua dan guru, mereka juga meminta agar menu MBG dibuatkan di rumah," urai Prof. Hardinsyah.
Dia mengakui adanya keraguan dan keresahan ketika muncul berita-berita tentang keamanan Makanan Bergizi Gratis.

Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Dewan Pakar Bidang Gizi Badan Gizi Nasional (BGN), Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S., saat menjadi narasumber dalam program "Super Don" yang dipandu jurnalis senior Nusantara TV, Don Bosco Selamun dan Donny de Keizer, Kamis, 11 Desember 2025. (Foto: Dok/NTV)
"Kekhawatiran itu terutama muncul di daerah-daerah yang pernah mengalami insiden, misalnya di Bandung Barat. Namun seiring perbaikan yang dilakukan, tidak ada kejadian baru. Semua kembali menerima, dan itu menjadi tanda pengawasan semakin ditegakkan," tegas Prof. Hardinsyah.
Dia juga menyampaikan, mulai Januari, guru akan ikut menerima Makanan Bergizi Gratis agar dapat memberikan pendidikan mengenai cara makan yang baik.
"Di kelas, mereka akan makan bersama. Anak-anak bisa melihat bagaimana gurunya makan, sehingga etika makan dapat ditegakkan. Edukasi gizi sedang dirancang, dan tahun depan akan mulai diterapkan, termasuk tata cara makan," bebernya.
Lalu bagaimana meyakinkan orang tua di rumah bahwa makanan yang dikonsumsi anak-anak sudah memenuhi standar gizi?
"Harapannya, daftar menu dan ukurannya dapat dibagikan kepada orang tua dan juga kepada anak. Anak kelas 3 SD sebenarnya sudah bisa melihat ukuran satu potong makanan, apalagi jika sudah difoto. Jadi ada pengawasan dari para pemangku kepentingan secara nonformal, tidak perlu menunggu pengawas dari pusat. Semua bisa tahu, misalnya satu potong semangka 80 gram itu kurang lebih setebal dua kali HP. Tapi kalau setebal satu HP saja, berarti hanya sekitar 40 gram," urainya.
Namun, ada juga yang mencoba melakukan mark up dengan mengecilkan porsi daging. "Itu yang kami khawatirkan. Dengan mendorong partisipasi para pemangku kepentingan, kalau perlu nanti diposting. Yayasannya bisa malu," cetusnya.
Bagaimana melihat perkembangan anak sekolah penerima makanan bergizi gratis secara kasat mata? Menurutnya, perubahan itu paling tidak baru terlihat setelah enam bulan.
Baca Juga: Program MBG Perkuat Ketahanan Gizi Nasional, Prof. Hardinsyah Dorong Pengawasan Lebih Optimal
"Kalau balita, satu sampai dua bulan sudah bisa terlihat. Balita adalah anak di bawah lima tahun. Sementara untuk anak sekolah, apalagi remaja, minimal enam bulan baru terlihat perubahan postur tubuh, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk. Menurut saya, ini menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan. Perlu ada pemantauan status gizi setidaknya sekali setahun, atau idealnya enam bulan sekali," terang Prof. Hardinsyah.
Dia menambahkan, gizi yang baik dapat meningkatkan kemampuan berpikir, menangkap pesan, dan konsentrasi belajar. Hal ini juga dapat dipantau oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
"Prestasi belajar dapat dilihat dari nilai rapor dan penilaian kualitatif guru, misalnya anak-anak menjadi lebih energik, dinamis, rajin bertanya, dan sebagainya," tegasnya.
Terkait keberlanjutan program, dia menyarankan beberapa hal. Pertama, memperkuat internal program. Program ini memiliki banyak tujuan, bukan hanya perbaikan gizi, sehingga membutuhkan koordinasi.
"Penguatan koordinasi harus dilakukan di setiap tingkatan, provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga desa. Semua sektor dan petugas terkait harus bisa saling bahu membahu," kata Prof. Hardinsyah.
Presiden Prabowo Subianto memperkirakan program MBG dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan, pertumbuhan ekonomi dari sisi kesempatan kerja dan perputaran uang sudah mulai terlihat.
Namun dari sisi produksi sebagai pemasok, ini harus segera diperkuat. Apakah melalui koperasi Merah Putih, koperasi petani, nelayan, atau kelompok tani, semua ini penting untuk keberlanjutan.
"Lalu ada aspek ekonomi sirkular. Ketika makanan dibersihkan dan dipotong, pasti ada sisa. Ini harus dimanfaatkan, misalnya dijadikan kompos atau pakan seperti ulat untuk ayam. Dengan demikian, ekonomi sirkular bisa tumbuh. Mulai tahun depan, meskipun sudah ada satu-dua daerah yang memulai, ini harus dipercepat. Hal ini terkait, misalnya, dengan produksi ulat Black Soldier Fly yang kemudian menjadi pakan ayam sehingga mengurangi ketergantungan pada pakan," ujarnya.
Jika berbicara evaluasi terhadap semua kegiatan di SPPG, banyak orang dan beragam profesi terlibat di sana dengan SOP masing-masing. Lalu apa yang paling penting diperbaiki terlebih dahulu?
"Faktor-faktor yang bisa menyebabkan gangguan keamanan pangan menjadi penting. Air, sumber air, dan saluran pembuangan harus lancar agar tidak cepat menjadi tempat berkembang bakteri dan menimbulkan bau. Higiene dan sanitasi para pekerja, 40-50 ibu-ibu termasuk sopir pengantar MBG, juga penting. Jadwal perlu diatur, dan jika ada yang sakit, terutama sakit menular seperti gangguan paru, tifus, flu, batuk, jangan bekerja. Harus ada komitmen bersama," terangnya.
Ke depan, selain memperkuat koordinasi internal, sektor lain juga perlu berperan, misalnya dalam monitoring dan evaluasi status gizi.
Monitoring dan evaluasi terkait prestasi dan kemampuan belajar juga diharapkan mulai berjalan tahun depan.
Dia juga menyampaikan, Badan Gizi Nasional telah melakukan berbagai upaya dalam program Makanan Bergizi Gratis sesuai amanat Presiden Prabowo Subianto, dan semuanya harus terus disempurnakan.
"Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Namun upaya dan doa kita harus selalu untuk memperbaiki hari demi hari, hingga nanti tercapai 30 ribu dapur Makanan Bergizi Gratis, dampak ekonominya terasa, dan perbaikan status gizi serta kualitas pembelajaran dapat dipantau dan dievaluasi oleh lembaga yang berwenang," tutup Prof. Hardinsyah.




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh