Nusantaratv.com-Di tengah keputusannya menunda pemberlakuan tarif resiprokal yang baru bagi sejumlah negara yang menjadi mitra dagangnya, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump justru menaikkan tarif resiprokal kepada China menjadi 145%.
Sebenarnya AS menetapkan tarif baru sebesar 125% atas barang-barang dari China. Namun selain itu ada tambahan tarif sebesar 20 persen yang sudah dikenakan sejak awal tahun, berkaitan dengan dugaan keterlibatan China dalam distribusi Fentanyl, sebagaimana diberitakan oleh Channel News Asia, Jumat, 11 April 2025.
Dengan kenaikan ini, beban tarif atas produk China yang diberlakukan pada 2025 melonjak menjadi total 145 persen.
Meski demikian, tarif 125 persen tersebut tidak berlaku untuk semua barang. Ada pengecualian penting yang mencakup produk baja, aluminium, dan mobil, karena ketiganya sudah dikenai tarif terpisah sebesar 25 persen dalam kebijakan sebelumnya.
Tak hanya itu, beberapa jenis barang seperti tembaga, produk farmasi, semikonduktor, kayu, dan energi tidak masuk dalam daftar tarif baru tersebut. Sebagian dari produk ini direncanakan akan dikenai tarif dalam kebijakan yang berbeda.
Kondisi ini menunjukkan bahwa struktur tarif yang diberlakukan cukup kompleks, bahkan di tengah meningkatnya ketegangan dagang antara Washington dan Beijing.
Sementara itu, pasar saham AS mengalami tekanan hebat. Wall Street yang sebelumnya sempat mengalami penguatan akibat penundaan tarif resiprokal selama 90 hari, kini berbalik arah dan menurun tajam.
Para pelaku pasar menunjukkan kekhawatiran bahwa penundaan singkat tersebut tidak cukup untuk meredakan dampak negatif dari lonjakan tarif terhadap aktivitas ekonomi. Dilaporkan oleh CNBC, indeks S&P 500 turun sebesar 3,9 persen, indeks Nasdaq merosot 5 persen, dan indeks Dow Jones melemah 3,1 persen.
Beberapa saham teknologi besar juga ikut terdampak. Saham Nvidia jatuh lebih dari 7 persen, Meta turun 7 persen, sementara Apple dan Tesla masing-masing melemah lebih dari 6 persen dan 10 persen.
Merespons langkah tarif baru ini, juru bicara Kedutaan Besar China untuk Amerika Serikat, Liu Pengyu, menegaskan bahwa pihaknya tidak mencari konflik namun siap menghadapinya jika diperlukan.
"Jika AS benar-benar ingin berdialog, mereka harus menunjukkan kepada orang-orang bahwa mereka siap memperlakukan orang lain dengan kesetaraan, rasa hormat, dan saling menguntungkan," kata dia seperti dikutip dari South China Morning Post.