Nusantaratv.com - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menjelaskan urgensi kehadiran Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) yang bertujuan sebagai payung hukum untuk melindungi pekerja rumah tangga dari eksploitasi, diskriminasi, penindasan, dan ketidakadilan.
Karena itu dia mendorong agar Rancangan Undang-Undang (RUU) PPRT segera menjadi usul inisiatif DPR agar bisa dibahas DPR bersama pemerintah dan disetujui menjadi undang-undang.
Selain itu, Willy menjelaskan selama ini pekerja di ranah sosial dan domestik tidak pernah mendapatkan statusnya, namun hanya diatur keberadaannya di level Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker).
"Artinya pekerja rumah tangga membantu kesuksesan dan keberlangsungan proses produksi bagi pemberi kerja. Tidak ada karir majikan sukses tanpa ada peran pekerja rumah tangga," kata Willy dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/11/2022).
Maka dari itu, lanjutnya, RUU PPRT menurutnya sangat urgen karena pekerja rumah tangga adalah orang yang berkontribusi pada proses produksi dalam sebuah rumah tangga pemberi kerja.
Menurutnya, RUU PPRT sangat penting karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengatur terkait pekerja rumah tangga dan yang mendapatkan hak hanya pekerja di sektor formal, barang serta jasa.
Willy mengatakan dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja yang mendapatkan hak dan perlindungan adalah yang bekerja di sektor formal. Sementara PRT bekerja di sektor informal, lanjutnya, belum ada payung hukum setingkat undang-undang untuk melindunginya.
"Karena itu perlu diatur tersendiri, posisinya memberikan perlindungan bagi warga negara. Perbedaan pekerja formal dengan 'domestic labour' adalah fleksibilitas terkait jam kerja, jenis kerja, hubungan kerja, dan upah kerja," kata politisi Fraksi NasDem ini.
Selain itu, Willy menegaskan bahwa RUU PPRT sudah disusun sejak lama dengan melibatkan banyak pihak antara lain para sosiolog, ahli hukum, dan aktivis buruh. Dia menjelaskan fleksibilitas menjadi kekuatan bagi pekerja rumah tangga karena tidak terserap di lapangan kerja formal.
Lebih lanjut, menurutnya, dalam RUU PPRT terdiri dari dua klaster, pertama PRT yang direkrut berdasarkan asas kekeluargaan yaitu tanpa jasa penyalur sehingga basisnya adalah sosiokultural.
Kedua yakni rekrutmen PRT melalui penyalur dengan disertakan kontrak kerja yang dijelaskan secara rinci, dan sudah diatur dalam RUU PPRT agar tidak terjadi perdagangan orang.
"Tidak boleh penyalur PRT berbentuk yayasan namun harus berbadan hukum dan izinnya diterbitkan pemerintah kabupaten/kota agar pengawasannya lebih rinci. Selama ini izin diterbitkan pemerintah provinsi," ujarnya.