Nusantaratv.com - Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani menyoroti peristiwa kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia menekankan perempuan berhak menentukan pilihannya, karena hal tersebut merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Dalam menentukan pasangan hidup, kaum perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Sehingga tidak boleh ada paksakan dari pihak manapun," kata Puan dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/9/2023).
Seperti diketahui, peristiwa kawin tangkap kembali terjadi dengan korban perempuan berinisial DM (20). Aksi sekelompok pria menculik DM yang dinarasikan sebagai tradisi kawin tangkap atau kawin paksa di Sumba Barat Daya itu sempat viral di media sosial (medsos) sejak pekan lalu.
Menurut polisi, peristiwa kawin tangkap tersebut dilakukan oleh puluhan pemuda dengan cara menculik DM yang saat itu sedang berada di keramaian dan membawanya kabur menggunakan mobil pikap. Sekelompok pemuda yang melakukan penculikan tampak menggunakan pakaian adat.
Tradisi kawin tangkap biasanya dilakukan olah masyarakat pedalaman Sumba, yaitu di Kodi dan Wawewa. Dalam tradisi lama masyarakat Sumba, kawin tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga mempelai pria yang terhalang belis atau mahar tinggi dari pihak perempuan.
Berkaca dari peristiwa itu, Puan berharap agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan. Puan memahami pentingnya menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia, namun dia mengingatkan jangan sampai budaya mencederai hak-hak perempuan.
"Harus ada solusi yang memadukan dua hal ini. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah berdialog dengan pemangku adat setempat dan masyarakat untuk mencari alternatif yang tidak melanggar hak asasi manusia," tutur perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI ini.
Puan mengingatkan, tradisi kawin tangkap pada praktiknya berpotensi melanggar hak perempuan. Selain itu juga menimbulkan kekerasan yang berlapis pada korban, hingga memicu dampak traumatis.
"Segala bentuk tindakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan pada perempuan yang mengatasnamakan budaya harus disikapi dengan bijak, untuk itu perlunya Pemerintah turun tangan memfasilitasi lewat pendekatan yang humanis," sebut Puan.
Berdasarkan data Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan), tercatat sejak 2013-2023 sudah terjadi 20 kasus kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, NTT. Namun yang terdata rinci hanya 16 kasus.
Dari data tersebut, korban kawin tangkap rata-rata berusia 13-30 tahun di mana yang paling rentan adalah perempuan remaja berusia 13, 16, dan 17 tahun. Puan menyebut, praktik kawin tangkap pun melanggar UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Sekarang kita sudah memiliki UU TPKS yang mengatur adanya larangan perkawinan paksa. Aturan ini harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, terutama tokoh agama dan tokoh adat di daerah-daerah," ujar Puan.
"Sehingga setiap pelaku yang terlibat pada kawin tangkap akan berurusan dengan hukum, karena melakukan pemaksaan perkawinan," tukasnya.