Nusantaratv.com - Hukuman mati yang masih tercantum dalam UU KUHP yang baru mencerminkan jalan tengah dari pendapat yang pro dan kontra terhadap pengaturan hukuman mati.
Meski demikian, sejumlah aktivis LSM dan HAM, menolak hukuman mati, sementara kelompok lain tetap mendesak diaturnya hukuman mati atas kejahatan tertentu seperti gembong narkoba, kejahatan terhadap perempuan, kejahatan terhadap kemanusiaan dan HAM, sampai terorisme.
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta memberikan tanggapannya saat bicara sebagai narasumber dalam tema 'Roundtable Discussion-Hukuman Mati di Indonesia: Perkembangan Advokasi Kasus Hukuman Mati dan Kondisi Terpidana Mati di Indonesia Pasca Penetapan KUHP', di Jakarta, Kamis (2/3/2022).
Acara diselenggarakan oleh KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Menurut Sudirta dalam keterangan tertulisnya, pengaturan pidana mati dalam KUHP saat ini merupakan jalan terbaik yang mengakomodasi seluruh kepentingan dan pandangan tentang relevansi hukuman mati sebagaimana diatur dalam Pasal 67, 98, 99, 100, 101 KUHP.
Legislator Fraksi PDI Perjuangan ini mengatakan pidana mati lebih tepat jika dikeluarkan dari kelompok pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP, diatur secara khusus atau bersyarat sebagaimana menjadi pidana yang selalu diancamkan secara alternatif.
Disebutkan dalam KUHP, terdapat upaya menempatkan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok namun diancamkan dengan persyaratan, sehingga masuk dalam sanksi pidana khusus atau alternatif.
"Pengaturan ini merupakan kompromi atau sebagai jalan keluar antara kaum retentionist dan abolist. Ini berarti bahwa pidana mati merupakan pidana perkecualian. Hakim harus memberikan pertimbangan yang sungguh-sungguh dan hati-hati sebelum menjatuhkan pidana mati, sebagaimana diatur dalam KUHP," ujar Sudirta.
Menurut data dalam penelitian tentang hukuman mati di 74 negara, ditemukan fakta bahwa sekalipun sebagian besar tetap mempertahankan pidana mati, tetapi berbagai macam alat hukum diatur untuk lebih memanusiawikan pidana mati.
Hampir semua negara mempertahankan pidana mati memiliki persyaratan-persyaratan yuridis, yang mengatur hak-hak dari terpidana untuk minta peninjauan kembali, meminta pengampunan, perubahan pidana dan penangguhan pidana mati.
Karenanya, pidana mati menjadi pilihan yang paling dihindari dengan melihat faktor pelaku seperti kesengajaan dan kesadaran.
Dengan begitu diharapkan bahwa penyalahgunaan kewenangan oleh penegak hukum juga terhindarkan dalam hal kewenangan hakim untuk selalu menghindari Hukuman mati dalam penjatuhan putusan pidana.
Dalam KUHP saat ini, Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu (paling lama 20 (dua puluh) tahun) dan pidana penjara seumur hidup, sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 67.
Hal ini tercermin dalam pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP. Lebih lanjut, Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1).
Mekanisme pemberian masa percobaan diatur dalam Pasal 100 dan 101 yang selanjutnya akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang tersendiri. "Namun yang penting untuk dicatat disini adalah juga pertimbangan hakim, yang mana harus memuat pidana mati dengan masa percobaan dalam putusan hakim," kata Sudirta.
Bahwa penerapan hukuman mati dalam KUHP baru lebih ketat, selanjutnya mekanisme penilaian pada masa percobaan diatur dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
"Bilamana tidak ada dalam putusan hakim, maka seorang terpidana memiliki hak untuk memohon grasi pada Presiden dengan persyaratan tertentu, sebagaimana mekanisme yang telah ada saat ini," imbuh Sudirta.