Nusantaratv.com - Anggota Komisi VII DPR RI Nasril Bahar memaparkan hasil kunjungannya ke Sugar Group Holding Company. Menurutnya, perusahaan penghasil gula kristal putih ini masih memiliki beberapa persoalan. Terlebih, pasca COVID-19 saat ini, musim kemarau yang panjang berdampak kepada hasil produksi.
"Ada beberapa keluhan yang mereka sampaikan dua tahun terakhir semenjak covid. Terjadi iklim cuaca yang membuat produksi mereka turun. Nah, ini merupakan keprihatinan kita, di mana sumber gula kita memang di samping di Jawa juga ada di Sumatera, salah satunya di bagian selatan yaitu Lampung sampai Palembang. Ini kita coba memberikan sebuah supporting hal apa yang kira-kira yang dapat mendorong percepatan untuk pulih kembali produksi gula kita di tanah air. Karena sampai hari ini kita juga belum mencapai target terhadap swasembada gula. Ini merupakan PR yang paling besar terhadap republik ini," katanya kepada Parlementaria di Bandar Lampung, kamis (23/11/2023).
Sebagai perusahaan gula terbesar di Lampung, Sugar Group Company memiliki luas lahan kurang lebih sekitar 116 ribu hektar, dengan kapasitas kurang lebih 300 ribu ton per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Lampung memberikan kontribusi gula nasional sebanyak 30-35 persen terhadap produksi gula nasional.
Nasril juga melanjutkan, dari 116 ribu hektar lahan konsesi HGU yang diberikan oleh Pemerintah, Nasril mempertanyakan berapa lahan yang sudah dimanfaatkan, dan berapa lahan yang belum digunakan. Menurutnya, pihak Sugar Group Company perlu berhati-hati dalam mengecek dan melakukan penelitian terhadap lahan-lahan tersebut.
"Dari 116 ribu hektar yang diberikan Pemerintah konsesi HGU untuk pertumbuhan tebu ini kita akan meneliti kembali. Pertama, berapa sesungguhnya yang dialokasikan dan berapa yang dipakai dan berapa yang tidak terpakai dan juga terhadap dokumen-dokumen yang sudah ada. Karena ada indikasi mereka ini sudah bukan lagi sebatas dokumen yang diberikan oleh Pemerintah atau HGU yang diberikan oleh Pemerintah tapi sudah kelihatannya sudah memperluas. Tentunya ini perlu berhati-hati untuk mengecek. Sehingga, korporasi tidak boleh terganggu dalam bisnisnya,” paparnya.
Hal lainnya yang disoroti Nasril juga soal penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan Sugar Group Company. Berdasarkan laporan yang diterimanya, terjadi tren penyaluran dana CSR yang rancu dan bertentangan dengan undang-undang yang ada.
"Kami melihat ada penggunaan CSR yang kami pikir ini merupakan tren tersendiri di beberapa korporasi di Indonesia. Yaitu trennya menempatkan CSR yang seyogyanya itu adalah untuk masyarakat luas, nah itu terindikasi (penyaluran CSR-nya) ke yayasannya sendiri, meskipun yang menikmati sebagian masyarakat tetapi tidak menyebar luas sampai ke beberapa titik apalagi untuk seluruh Indonesia," ungkapnya.
Lebih lanjut, Nasril juga berharap DPR RI ke depannya dapat lebih teliti dan cermat lagi dalam melakukan pengawasan yang melekat pada penggunaan dana CSR dari seluruh korporasi yang ada di Indonesia.
"Justru karena itu khususnya untuk sugar holding company akan memberikan jawaban tertulis. Kita akan minta 10 tahun belakangan, berapa dana CSR yang dikeluarkan setiap tahunnya, atas dasar terhadap perintah undang-undang nomor 40 tahun 2007 yaitu tentang korporasi. Tentu di situ ada ketentuan-ketentuan khusus ya baik daripada Peraturan Pemerintah maupun di undang-undang tersebut, sejumlah dialokasikan setiap tahunnya dan kita ingin tahu penempatan-penempatan itu selama 10 tahun," tuturnya.