Nusantaratv.com - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menegaskan, pihaknya menolak keras rencana Pemerintah menggelontorkan subsidi bagi pembelian motor listrik sebesar Rp8 juta dan mobil listrik sebesar Rp80 juta di tahun 2023.
Menurut Mulyanto, rencana tersebut melukai rasa keadilan masyarakat.
"Pengguna motor dan mobil listrik itu kan relatif masyarakat kelas menengah dan atas. Mereka tidak membutuhkan subsidi. Yang butuh subsidi adalah masyarakat yang tidak mampu untuk membeli komoditas pupuk, listrik, BBM, dan lainnya. Ini kan paradoks. Pasalnya, subsidi untuk masyarakat menengah dan atas jor-joran, sementara subsidi untuk masyarakat yang tidak mampu malah ditahan-tahan," ujar Mulyanto dalam keterangan persnya, Senin (19/12/2022).
Mulyanto mengecam sikap tidak adil pemerintah dalam mengalokasikan dana subsidi. Kepada masyarakat mampu, pemerintah dengan gampang menggelontorkan subsidi triliunan rupiah. Sementara untuk masyarakat kecil anggaran subsidi ditahan-tahan. Itu pun masih dikeluhkan dan terus dikurangi jumlahnya.
Terkait subsidi BBM misalnya, pemerintah terkesan berat membantu masyarakat yang membutuhkan. Subsidi BBM ini selalu dipermasalahkan. Padahal harga minyak dunia terus turun jauh di bawah angka asumsi makro APBN.
"Akhir-akhir ini harga minyak dunia sudah anjlok jauh di bawah asumsi APBN, bahkan pemerintah telah berjanji, kalau harga minyak dunia menjadi sebesar USD 75 per barel, maka harga BBM bersubsidi akan diturunkan. Namun mana realisasinya? Harga minyak dunia yang dilaporkan WTI (West Texas Intermediate) akhir-akhir ini sudah mencapai USD 70 per barel. Sementara, asumsi APBN kita sebesar USD 100 per barel," jelas Politisi Fraksi PKS itu.
Atas sikap yang berbeda itu, Mulyanto menyebut pemerintah sungguh tidak pro rakyat kecil dan jauh dari ruh sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Legislator Daerah Pemilihan (Dapil) Banten III itu jadi meragukan hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei, bahwa dukungan masyarakat terhadap pemerintah cukup tinggi. "Yang sesungguhnya, malah bisa jadi sebaliknya," tutup Mulyanto.