Nusantaratv.com - Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menyampaikan kinerja Kementerian Pertanian (Kementan) selama tahun 2022 belum fokus pada perbaikan tata kelola pangan nasional.
Padahal, rapat kerja (raker) Komisi IV dengan Kementan pada 22 Maret 2022 telah menyepakati bahwa kinerja Kementan untuk tahun anggaran 2022 harus fokus pada upaya penyediaan pangan nasional, serta membuat tata kelola pencapaian produksi pangan dalam jangka menengah dan panjang.
Karena itu, dia meminta Kementan harus fokus pada produksi pangan nasional. Namun selama tahun 2022, terdapat banyak persoalan produksi yang diakibatkan keterbatasan anggaran.
"Selalu muncul kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan pangan, sehingga ketergantungan impor terus meningkat setiap tahun," urai Johan dalam keterangan persnya, Selasa (17/1/2023).
Johan mencontohkan, pada tahun 2022, telah terjadi gejolak harga kedelai yang tidak terkendali dan kemelut persoalan pupuk bersubsidi yang berdampak terhadap naiknya harga pangan.
Sehingga pengeluaran rumah tangga terhadap pangan semakin meningkat dan menambah beban rumah tangga petani untuk melaksanakan kegiatan usaha taninya.
Di sisi lain, pemerintah tidak berdaya melakukan upaya untuk meningkatkan produksi pangan karena keterbatasan anggaran sektor pertanian. Politisi PKS ini juga mengungkapkan bahwa pada raker sebelumnya Komisi IV DPR juga telah meminta Kementan untuk menyusun rencana program anggaran tahun 2023.
Rencana program tersebut berfokus pada produksi pangan dan meningkatkan daya saing serta adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, menurutnya, saat ini Kementan belum juga memberikan program unggulan 2023 agar kondisi pangan bisa lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
"Pak Menteri, berdasarkan catatan akhir tahun kami, sepanjang tahun 2022 diwarnai dengan fluktuasi harga komoditas pangan yang tidak terkendali, di mana harga selalu jatuh saat panen dan merugikan petani. Seperti jatuhnya harga gabah, harga jagung, cabai, bawang merah dan lain-lain. Namun produk yang bersumber dari impor, seperti daging dan kedelai harga terus melonjak yang berakibat merugikan pelaku UMKM serta merugikan konsumen karena daya beli yang semakin lemah akibat resesi ekonomi," tegasnya.
Lebih lanjut, dia meminta Kementan memberikan kepastian strategi pelaksanaan peningkatan produksi khususnya kedelai di Indonesia. Oleh karena upaya peningkatan produksi pertanian, khususnya bahan pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat seperti kedelai yang diolah menjadi produk olahan seperti tempe, tahu dan kecap, harus benar-benar menjadi kebijakan Kementan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri.
Legislator Dapil Nusa Tenggara Barat I itu turut mempertanyakan terkait kebijakan pangan yang selalu mengutamakan pasokan impor terutama beras, bawang putih, daging sapi/kerbau, kedelai, gula konsumsi dalam jumlah persentase yang begitu besar setiap tahun.
"Maka di mana posisi pemerintah dalam menjaga kepentingan pangan nasional agar terus berdaulat dan tidak tunduk pada kepentingan para importir serta keuntungan segelintir pihak tertentu," ucap Johan.
Selanjutnya, dia juga menyinggung mengenai pernyataan pemerintah yang mengklaim berhasil swasembada beras dan mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (RRI).
"Namun anehnya malah melakukan impor beras dan hal ini telah menimbulkan polemik serta penolakan luas dari komponen masyarakat dan Presiden pun mengklaim tidak melakukan impor beras dalam tiga tahun terakhir. Namun, kenyataannya realisasi impor beras malah dilakukan dimana petani akan memasuki masa panen raya, hal ini sangat merugikan petani dan mencederai kedaulatan pangan nasional," pungkasnya.
"Saya menilai Pemerintah belum mampu melakukan penyempurnaan sistem data dan informasi di lapangan agar akurasi kondisi pangan di lapangan terus terpantau seperti kondisi stok pangan, fluktuasi harga pangan, dan distribusi pangan. Sehingga situasi tahun 2022 terjadi banyak perbedaan data antar instansi pemerintah serta selalu tidak berdaya mengatasi gejolak harga komoditas pangan pokok di mana harga pangan terus melonjak tidak terkendali. Jangan sampai hal ini terjadi lagi akibat lemahnya kinerja dan koordinasi pemerintah," tutup Johan.