Nusantaratv.com - Komisi VII DPR RI tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Saat ini, DPR masih menunggu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah untuk menyelesaikan RUU tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto dalam Fokus Group Discussion (FGD) dalam rangka Kunjungan Kerja Legislasi RUU EBET Komisi VII DPR RI masa persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (3/11/2022).
"Kehadiran RUU ini untuk menjawab persoalan ketergantungan Indonesia kepada energi fosil. Sekaligus berusaha meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri pemerintah mengimpor 900 ribuan barel per hari memenuhi kebutuhan 1.580 ribu barel setiap hari. Sedangkan, sumur minyak kita hanya mampu menghasilkan 500-610 ribu barel saja. Bila tidak ditemukan cadangan minyak yang baru, sumber minyak kita hanya bertahan 11 tahun saja," urai Sugeng.
Politisi Partai Nasdem ini menambahkan meski sumber daya energi gas alam melimpah namun infrastruktur jaringan gas belum memadai sehingga pemerintah masih melakukan impor dalam bentuk Liquified Petroleum Gas (LPG) dengan nilai impor mencapai Rp80 triliun.
Ini untuk memenuhi kebutuhan kompor gas skala rumah tangga setiap keluarga. Cadangan batu bara dalam negeri cukup melimpah yang selama ini banyak diekspor ke luar.
"Konsumsi batu bara dalam negeri 142 juta ton per tahun untuk pembangkit listrik. Namun, menyumbang emisi karbon yang jumlahnya terus dikurangi. Sebab, pemerintah menargetkan nol emisi karbon pada 2060. Energi fosil sudah menjadi masalah ekonomi dan ekologi, sehingga penggunaan energi baru dan terbarukan jadi kebutuhan dengan target 'net zero emission' pada 2060 mendatang," lanjut legislator Dapil Jawa Tengah VIII meliputi Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas ini.
Sementara itu, pengamat energi dari Fakultas Teknik UGM, Dr Tumiran menilai, kemunculan RUU ini harus diikuti dukungan dari Peraturan Pemerintah (PP). Libatkan banyak instansi, kementerian serta BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk mendukung program pengembangan industri manufaktur.
"Jika RUU ini disahkan, maka ada 12 PP yang diperlukan, takutnya PP tidak sejalan dengan UU," ujar Tumiran.
Pemerintah sebelumnya sudah menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2025 dimana pemakaian Energi Baru Terbarukan 23 persen kebutuhan energi nasional.
Tidak tercapai karena tidak didukung kementerian, bahkan saling lempar tanggung jawab. Semua orang seolah ingin mengambil peran itu, selama ini koordinasi tidak jalan. Seharusnya ESDM, Kemenkeu, BUMN dan Kementerian Perindustrian harus ikut. Percepatan penggunaan energi baru terbarukan harus mendukung pertumbuhan ekonomi.
Bagi Tumiran, pengembangan energi baru dan terbarukan bila dilakukan serius akan mampu menumbuhkan penciptaan lapangan kerja. Dengan tumbuh dan berkembanganya industri manufaktur lokal yang mampu menghasilkan produk EBT dari dalam negeri.
"Saya tidak melihat pasal-pasal dalam RUU ini bisa menciptakan ekonomi baru. Bagaimana ekonomi dan lapangan kerja kita bisa tercipta. Jangan sampai nanti kita pakai produk dari luar dan kita akan hutang," pungkas Tumiran.