Bukhori Dorong Rasionalisasi Biaya Haji Demi Jaga Kesinambungan Pembiayaan Haji

Nusantaratv.com - 25 Agustus 2022

Anggota DPR RI Bukhori Yusuf. (Dok/Man)
Anggota DPR RI Bukhori Yusuf. (Dok/Man)

Penulis: Adiantoro

Nusantaratv.com - Penyelenggaraan haji tahun 2022 sudah tuntas. Namun Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf memberikan catatan untuk perbaikan penyelenggaraan haji mendatang, salah satunya mengenai biaya haji. 

Menurutnya, perlu ada upaya untuk mengefektifkan biaya haji. Bahkan jika perlu, penyelenggaraan haji dengan skema Government (G) to Business (B) perlu ditinjau kembali. Pasalnya biaya riil penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022 mencapai Rp98.570.000 per jamaah.

Biaya yang menyentuh nominal hampir Rp100 juta per jamaah itu sangat timpang dengan setoran jamaah yang hanya dibebankan sekitar Rp35 juta per orang. "Kesenjangan antara biaya riil haji dengan biaya yang disetorkan jamaah tergolong besar, yakni lebih dari 50 persen. Sebab itu perlu ada rasionalisasi biaya perjalanan ibadah haji (Bipih)," tegas Bukhori dalam keterangan persnya, Rabu (24/8/2022).

Dijelaskan Bukhori, kekurangan pembiayaan haji selama ini, ditutupi oleh nilai manfaat yang diperoleh dari pengelolaan dana yang jamaah setorkan sebelumnya untuk mendapatkan nomor kursi, senilai Rp35 juta per jamaah. 

Selanjutnya, mereka (para jamaah) harus menunggu di antara rentang waktu 25-40 tahun. Selama masa tunggu, lanjut Bukhari, uang yang disetorkan jamaah dikelola melalui investasi oleh BPKH.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan, dari besaran biaya haji Indonesia saat ini, yaitu Rp35 juta, nantinya akan dikembalikan kepada jamaah sekitar Rp5 juta sebagai uang saku, sehingga total setoran jamaah sebenarnya adalah Rp30 juta. Sedangkan di sisi lain, biaya riil haji nyaris mencapai Rp100 juta, yang berarti masih ada kekurangan sekitar Rp70 juta.

"Kejadian ini membutuhkan kajian yang mendalam. Apakah masalahnya di pengelolaan keuangan hajinya, sehingga perlu dikelola secara progresif, atau karena masalah sedikitnya setoran jamaah? Jika ternyata masalahnya terletak pada setoran jamaah, maka setorannya harus ditambah. Sementara jika persoalannya ada pada regulasi, maka opsi untuk mengubah UU eksisting perlu untuk dipertimbangkan," tutur Bukhori.

Dia mengatakan, Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji mendorong BPKH untuk melakukan investasi langsung, akan tetapi dalam prakteknya BPKH belum mampu untuk memperbanyak investasi langsung. Investasi yang dilakukan BPKH hanya melalui penempatan, pihaknya khawatir cara tersebut tidak akan mampu menjaga sustainabilitas keuangan haji. 

"Investasinya kebanyakan hanya di penempatan. Sedangkan, jika hanya di penempatan, keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari 6 atau 7 persen per tahun. Ini tidak bisa menutupi kekurangan setoran jamaah terhadap biaya riil," jelas Bukhori.

Diketahui, dana yang dihimpun BPKH dari 5 juta jamaah haji dengan dana kelola sekitar Rp170 triliun, di mana nilai manfaat yang diperoleh dari jumlah tersebut nyaris mencapai Rp8 triliun dalam situasi normal, semisal pada tahun 2019 lalu. 

"Walaupun demikian, patut digarisbawahi bahwa dana sekitar dari Rp8 triliun tersebut bukan semata-mata hak jamaah yang berangkat tahun ini, melainkan hak semua jamaah haji yang telah menyetorkan dananya yang jumlahnya sekitar 5 juta itu," kilah Bukhori. 

Selanjutnya, masih kata legislator dapil Jawa Tengah I itu, yang menjadi kekhawatiran kami adalah apabila Arab Saudi kemudian memberikan kita kuota tambahan, dengan kebijakan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang masih bertumpu pada subsidi hingga lebih dari 50 persen, konsekuensinya BPKH akan dituntut untuk menutupi biaya dua kali lipat untuk sekali perjalanan. 

"Artinya, jika nilai manfaat yang diperoleh adalah Rp8 triliun, maka itu akan habis pakai untuk sekali musim. Kemudian jika Saudi menaikan kuota hingga 100 persen, maka sekitar Rp16 triliun akan habis hanya untuk menutupi biaya haji dikarenakan operasional haji diperkirakan memakan biaya Rp16 untuk sekali musim," beber Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu.

"Dengan demikian, apabila demi menutupi penyelenggaraan haji untuk sekali musim membutuhkan Rp16 triliun, pertanyaannya adalah bagaimana memperoleh tambahan Rp8 triliun lainnya mengingat perolehan nilai manfaat yang sekitar Rp8 triliun selama ini didapat dengan cara investasi, yang kami nilai lebih banyak dilakukan secara konvensional?" tanyanya. 

Selain itu, Bukhori menyarankan supaya ke depan, pembagian dana nilai manfaat kepada jamaah yang melalui Virtual Account (VA) dapat mencerminkan pembagian yang lebih riil. 

"Contohnya, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp2 triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp2,5 triliun. Walaupun masing-masing jamaah haji sama-sama menyimpan uang Rp35 juta, semestinya kebijakannya adalah jamaah haji yang dananya paling lama terendap, nilai manfaat yang diperolehnya semakin besar. Tidak hanya itu, supaya jamaah haji merasakan dampak riil keuntungan dari investasi, maka nilai manfaat yang tersimpan di VA sudah semestinya diberikan dalam bentuk riilnya," katanya.

Tidak cukup sampai di situ, Bukhori juga menyinggung soal koreksi yang juga diperlukan terhadap penggunaan istilah subsidi dalam konteks penyelenggaraan haji. "Penggunaan istilah subsidi juga perlu dikaji ulang. Pasalnya, sumber dana yang disebut subsidi selama ini sesungguhnya berasal dari dana milik jamaah haji yang dititipkan kepada BPKH untuk dikelola sehingga menghasilkan nilai manfaat. Sebab itu, istilah yang sebenarnya lebih memadai adalah distribusi nilai manfaat, bukan subsidi," tukas Bukhori. 

0

(['model' => $post])