Nusantaratv.com - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai, kegiatan seminar nasional yang diselenggarakan Badan Keahlian DPR RI ialah upaya hadir untuk mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, BK DPR RI melalui Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema 'Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Terhadap Tata Hukum Nasional'.
"Seminar ini juga mengkritisi sikap-sikap MK yang bagi kami sebagai pembentuk Undang-Undang itu patut dipertanyakan soal konstitusionalismenya," ungkap Arsul di sela kegiatan seminar tersebut di Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, Kamis (29/9/2022).
Dirinya menjelaskan, dia melihat ada beberapa putusan MK itu yang bisa dipertanyakan, yakni apakah sikap itu sebetulnya persoalan konstitusionalitas norma yang ada di Undang-Undang atau itu sebetulnya persoalan kepentingan Hakim MK.
"Nah ini kan kemudian menimbulkan pertanyaan bagi pembentuk Undang-Undang DPR maupun Pemerintah. MK ini ya apakah membuat keputusan itu dari sisi kepentingan atau perspektif konstitusionalisme?" tanya politisi Fraksi PPP ini.
Lebih lanjut, dia menjelaskan salah satu contohnya yakni terkait putusan MK yang membatalkan pasal peralihan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020.
Diketahui, Undang-Undang tersebut merupakan perubahan atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, di mana di pasal 7 huruf a-nya itu dibatalkan. "Yang menyangkut kontinuitas atau kelangsungan jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK (dibatalkan), tetapi ketika yang menyangkut masa jabatan Hakim MK secara keseluruhan itu kemudian tidak dibatalkan. Begitu ya tetap hidup. Meskipun itu juga dimintakan pengujian," jelasnya.
Hal lainnya yang menjadi sorotan yakni persoalan uji formil. Terkait dengan apa yang oleh MK itu didefinisikan sebagai partisipasi yang bermakna mindful participation dari publik atau dari masyarakat.
Pasalnya, ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 masuk dalam uji formil, Undang-Undang tersebut dibuat dengan secepat kilat. "Kenapa prinsip-prinsip meaningful participation yang ditekankan oleh MK dalam uji putusan, uji materi Undang-Undang Cipta Kerja itu kok tidak diterapkan?" ungkap Arsul.
Dia menilai, yang harus kemudian diubah kembali direvisi kembali Undang-Undang nya dengan harus memasukkan ketentuan bahwa kalau yang diuji materi itu adalah pasal-pasal yang terkait. Terlebih, putusan MK berpotensi memiliki implikasi yang besar terhadap sistem ketatanegaraan.
Oleh karenanya, Hakim MK itu betul-betul Hakim yang negarawan kalau itu menyangkut kepentingan dirinya sendiri, maka mestinya kalaupun mau mengadili dia harus mengambil keputusan yang betul-betul menyesuaikan kepentingan dirinya.
"Dengan diri para Hakim MK maka ya harus ada majelis Hakim MK yang bersifat ad hoc yang bukan para hakim MK yang permanen yang ada di MK itu," pungkas politisi dapil Jawa Tengah X.